sustainabilitypioneers – Disrupsi energi dengan inovasi teknologi merupakan langkah penting menuju kemandirian energi dan keberlanjutan. Perubahan besar dalam sektor energi sedang berlangsung di seluruh dunia, dengan adanya perubahan cara energi diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Faktor utama yang menyebabkan disrupsi energi ini adalah kemajuan teknologi dan perubahan dinamika global. Energi fosil kini mulai digantikan dengan sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Perubahan dalam sektor energi didorong oleh efisiensi yang lebih baik dan turunnya biaya teknologi. Tuntutan global untuk menggunakan energi bersih semakin meningkat. Diversifikasi energi menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Transisi ini juga mempercepat penggunaan EBT seperti tenaga surya, angin, hidro, dan bioenergi. Teknologi penyimpanan energi, seperti baterai berbasis nikel, juga memainkan peran krusial dalam pemanfaatan EBT. Digitalisasi melalui smart grid dan kecerdasan buatan (AI) semakin mendukung efisiensi serta keandalan sistem energi.
AI memiliki peran penting dalam memprediksi permintaan energi. Selain itu, AI juga dapat mengoptimalkan jaringan listrik dan meningkatkan efisiensi distribusi energi. Dengan kemajuan teknologi ini, setiap individu mungkin bisa memenuhi kebutuhan listriknya secara mandiri. Seperti halnya penggunaan telepon genggam yang sudah sangat personal, listrik juga bisa menjadi kebutuhan pribadi. Perusahaan dan jaringan listrik besar mungkin tidak diperlukan lagi di masa depan. Dunia energi mungkin mengalami perubahan yang serupa dengan sektor telekomunikasi yang beralih ke frekuensi tanpa kabel.
Selain nuklir, hidrogen hijau menjadi salah satu solusi energi potensial. Hidrogen hijau diproduksi melalui elektrolisis air dengan menggunakan listrik dari sumber EBT. Proses ini tidak menghasilkan emisi karbon, menjadikannya alternatif yang ramah lingkungan. Hidrogen hijau bisa mendukung dekarbonisasi industri berat, transportasi, dan penyimpanan energi dalam skala besar. Dengan potensi EBT yang melimpah, Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan ekosistem hidrogen hijau yang kompetitif. Tentunya, hal ini membutuhkan dukungan regulasi dan insentif untuk para investor serta kemitraan antara sektor publik dan swasta.
“Simak juga: India Bersiap Operasikan Jet Tempur Siluman F-35, Ancaman Baru di Asia?”
Sejarah sistem energi sejak 1600-an menunjukkan transisi yang signifikan. Pemanfaatan EBT mulai berkembang pada tahun 1950-an, namun sebelumnya sektor energi didominasi oleh biomassa dan migas. Pada tahun 1950-an, reaktor nuklir pertama digunakan di Uni Soviet dan AS. Pengembangan teknologi panel surya dan turbin angin dimulai pada 1980-an di negara-negara maju. Transisi menuju EBT semakin pesat pada tahun 2000-an, seiring penurunan harga teknologi seperti panel surya dan turbin angin. Di tahun 2010-an, penggunaan mobil listrik (Tesla) dan kebijakan energi hijau mulai berkembang pesat. Percepatan pengembangan hidrogen hijau, baterai penyimpanan besar, dan smart grid terjadi pada awal tahun 2020-an.
Negara-negara maju telah lama mendominasi riset dan inovasi teknologi di bidang energi. Mereka berhasil membawa EBT ke tahap komersial setelah melakukan investasi besar dalam riset selama puluhan tahun. Sumber daya energi murah seperti minyak mentah juga mendukung perkembangan riset di negara-negara ini. Hal ini membuat posisi Indonesia semakin sulit untuk mewujudkan kemandirian energinya.
Di Indonesia, inovasi teknologi dalam sektor energi terhambat oleh minimnya dana riset. Anggaran riset Indonesia selama ini bahkan kurang dari 1 persen dari APBN. Hal ini menyebabkan riset dan inovasi di dalam negeri sulit berkembang. Indonesia lebih sering mengimpor teknologi dari luar negeri, ketimbang mengembangkan produk teknologi lokal. Pembangunan infrastruktur riset yang mendalam dan reformasi di sektor ini sangat dibutuhkan untuk mempercepat perkembangan teknologi dalam negeri.
Transisi energi global juga dipengaruhi oleh dinamika geopolitik. Setelah terpilih kembali, Presiden AS, Donald Trump, menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris. Trump memilih untuk mengandalkan bahan bakar fosil daripada energi terbarukan (EBT). Sikap ini berpotensi memperlambat transisi energi yang lebih bersih dan menguntungkan bagi sektor energi global. Di sisi lain, Uni Eropa tetap berkomitmen pada Green Deal Eropa dan target netralitas karbon pada 2050. China juga terus berinvestasi besar-besaran dalam EBT meski tetap bergantung pada batu bara.
Dengan potensi sumber daya energi yang melimpah dan dukungan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat mengambil peran lebih besar dalam transisi energi global. Namun, hal ini memerlukan peningkatan anggaran riset serta kebijakan yang mendukung inovasi teknologi energi dalam negeri. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi produk teknologi energi dari negara lain.
sustainabilitypioneers – Carbon Capture and Storage (CCS) adalah solusi teknologi yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh…
sustainabilitypioneers – Potensi Hidrogen Hijau sebagai bahan bakar alternatif semakin diperhitungkan dalam upaya mengatasi krisis energi global. Dengan menggunakan energi terbarukan,…
sustainabilitypioneers – Mengubah limbah menjadi biochar adalah inovasi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas tanah dan mengurangi…
sustainabilitypioneers – Mengoptimalkan Energi Gravitasi menjadi salah satu cara inovatif untuk menghasilkan listrik. Dengan memanfaatkan potensi energi dari benda yang dijatuhkan,…
sustainabilitypioneers – Energi Thermoelektrik adalah teknologi yang dapat mengubah perbedaan suhu menjadi listrik. Konsep ini berfokus pada pemanfaatan panas yang ada…
sustainabilitypioneers – Pembangkit listrik biomassa menjadi salah satu solusi inovatif untuk menghasilkan energi ramah lingkungan. Menggunakan limbah organik, teknologi ini…