Green Innovations

Inovasi Hijau di Jalan Raya: Marka Tol Bakter Dibuat dari Getah Pinus dan Minyak Sawit

sustainabilitypioneers – Inovasi hijau di sektor infrastruktur semakin berkembang, salah satunya yang diterapkan oleh pengelola Tol Bakauheni-Terbanggi Besar (Bakter). Melalui kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), mereka telah berhasil mengembangkan marka jalan yang ramah lingkungan, yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti getah pinus (gondorukem) dan minyak sawit (gliserol). Penerapan teknologi ini diharapkan dapat menjadi langkah maju dalam penggunaan bahan baku lokal untuk pembangunan infrastruktur jalan yang lebih berkelanjutan.

Penggunaan Bahan Alam untuk Marka Jalan

Pada Selasa, 10 September 2024, pengaplikasian pertama marka jalan berbahan gondorukem dan gliserol dilakukan di ruas Tol Bakter KM 125+200. Inovasi ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor dan meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam proyek infrastruktur. Menurut Ade Rintoro, Expert Bidang Pemasaran dan Riset Pengembangan HakaAston (HKA), operator Tol Bakter, pengembangan marka jalan ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi bahan baku lokal yang melimpah, seperti getah pinus dan minyak sawit.

“Ini baru pertama kali diuji coba di jalan tol, yaitu di Ruas Tol Bakter. Dengan menggunakan gondorukem dan gliserol, kami berharap marka jalan ini lebih tahan lama dan memenuhi standar kualitas yang ditentukan,” ungkap Ade dalam keterangan tertulisnya.

“Baca juga: Ritel Eksklusif Sambut Brand Tas Ramah Lingkungan dari Hong Kong”

Gondorukem dan Gliserol: Bahan yang Ramah Lingkungan

Pemilihan gondorukem dan gliserol sebagai bahan utama marka jalan bukan tanpa alasan. Gondorukem adalah produk yang diperoleh dari pengolahan getah pinus melalui proses destilasi. Sedangkan gliserol adalah senyawa organik yang diperoleh dari minyak kelapa sawit melalui proses hidrolisis dengan air. Kedua bahan ini telah digunakan di luar negeri sebagai material untuk pembuatan marka jalan, namun kini sedang dikembangkan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Peneliti dari ITB, Aqsha, menjelaskan bahwa bahan-bahan ini sangat mudah didapatkan di Indonesia dan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Dengan potensi yang ada, pengembangan penggunaan gondorukem dan gliserol dalam pembuatan marka jalan bisa menjadi solusi yang menguntungkan, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan.

Penerapan di Ruas Tol Bakter

Uji coba penerapan marka jalan berbahan gondorukem dan gliserol dilakukan di sepanjang 100 meter. Tepatnya di KM 125+200 hingga KM 126+200 pada jalur B Ruas Tol Bakter. Marka ini digunakan untuk garis bingkai jalan atau garis putih yang tidak putus. Dimana yang biasanya ditemukan di sisi kiri jalan sebagai penanda batas jalur. Dengan menggunakan bahan alami, marka jalan ini diyakini akan lebih awet dan memiliki daya tahan yang lebih lama. Bahan ini bahkan bisa dibandingkan dengan bahan konvensional yang sering digunakan.

“Marka jalan yang dihasilkan bisa lebih tahan lama serta memenuhi standar kualitas yang telah ditentukan,” ujar Ade Rintoro. Hal ini tentunya menjadi kabar baik untuk dunia konstruksi jalan tol. Hal ini dikarenakan selain ramah lingkungan, penggunaan bahan ini dapat mengurangi biaya pemeliharaan jalan dalam jangka panjang.

“Simak juga: Chip Komputasi Kuantum Terbaru dari Google: Revolusi atau Sekadar Inovasi?”

Potensi Pengembangan di Indonesia

Inovasi ini tidak hanya berfokus pada pengembangan teknologi marka jalan, tetapi juga pada pengurangan dampak lingkungan. Penggunaan bahan alami seperti getah pinus dan minyak sawit tentu akan lebih ramah lingkungan. Terutama bila dibandingkan dengan bahan kimia sintetis yang umumnya digunakan untuk pembuatan marka jalan. Selain itu, pengembangan ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pengolahan bahan alami, serta mendukung perekonomian lokal.

Pemerintah dan pihak terkait kini semakin intens dalam mendorong penggunaan bahan baku lokal dalam berbagai sektor, termasuk infrastruktur. Dengan adanya pengembangan seperti ini, Indonesia tidak hanya bisa mengurangi ketergantungan pada bahan impor, tetapi juga dapat menjaga kelestarian lingkungan melalui inovasi hijau yang lebih berkelanjutan.

Recent Posts

Stabilitas Permintaan Batu Bara Global hingga 2027 Menurut IEA

sustainabilitypioneers – Badan Energi Internasional (IEA) mencatat bahwa permintaan batu bara global pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 8,77 miliar ton, dengan…

9 hours ago

Sekjen PBB Serukan Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Fosil di Negara Penghasil Minyak

sustainabilitypioneers – Pengurangan subsidi bahan bakar fosil telah menjadi salah satu topik utama yang disuarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam upaya…

1 day ago

Menggali Potensi Greenovation untuk Perubahan Ekonomi Berkelanjutan di Kalsel

sustainabilitypioneers – Potensi greenovation untuk perubahan ekonomi di Kalimantan Selatan (Kalsel) semakin menunjukkan relevansinya dalam upaya menciptakan perekonomian yang berkelanjutan dan…

2 days ago

BRICS Sebagai Jalur Baru untuk Negosiasi Transisi Energi Indonesia

sustainabilitypioneers – Transisi energi Indonesia semakin mendapat dorongan dengan bergabungnya negara ini sebagai anggota tetap BRICS. Keanggotaan ini membuka peluang besar…

3 days ago

Perkebunan Sawit Ilegal: Walhi Bengkulu Tantang KLHK Bertindak di Kawasan Hutan

sustainabilitypioneers – Perkebunan sawit ilegal menjadi isu lingkungan yang semakin serius, terutama di kawasan hutan. Hal ini juga terjadi di Bengkulu,…

4 days ago

Gedung Perkantoran Bersertifikat Hijau Jadi Pilihan Utama Perusahaan Asing, Ini Alasannya!

sustainabilitypioneers – Gedung perkantoran bersertifikat hijau kini semakin diminati oleh perusahaan-perusahaan asing, terutama yang berkomitmen terhadap keberlanjutan dan efisiensi energi. Tren…

5 days ago