Policy and Advocacy

Transisi Energi Indonesia: Keterbatasan Komitmen Politik Menjadi Penghalang

sustainabilitypioneers – Transisi energi Indonesia saat ini mengalami jalan di tempat, terhambat oleh lemahnya komitmen politik dari pemerintah. Meskipun telah ada janji untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan, kenyataannya bauran energi fosil, khususnya listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, justru meningkat. Pasokan listrik dari PLTU batu bara bahkan mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Lemahnya Komitmen Politik dalam Transisi Energi

Laporan terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) yang diluncurkan pada 5 Desember 2024, menyoroti bahwa transisi energi Indonesia berada di persimpangan jalan. Indonesia menghadapi dilema antara melanjutkan kepentingan ekonomi dan politik industri fosil atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon. Menurut IESR, keragu-raguan dalam menentukan arah transisi energi ini berisiko menghambat pencapaian target net zero emission (NZE) yang diharapkan tercapai sebelum tahun 2050.

Pada kenyataannya, capaian bauran energi terbarukan Indonesia pada tahun 2023 baru mencapai 13,1%, jauh dari target 23% pada 2025. Proyek-proyek pembangkit energi terbarukan yang seharusnya selesai pada periode 2021-2025 pun sebagian besar belum dilelang. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan komitmen politik yang signifikan dalam merealisasikan transisi energi.

“Baca juga: Google Luncurkan GenCast: AI Canggih yang Bisa ‘Meramal’ Cuaca Masa Depan!”

Kebijakan Energi yang Bertentangan

Pentingnya kebijakan yang tegas dan terarah sangat dibutuhkan, namun kenyataannya, kebijakan energi nasional justru menunjukkan kontradiksi. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang menempatkan transisi energi sebagai tujuan utama. Hal ini malah dibayangi oleh Kebijakan Energi Nasional yang menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi hanya 17-19 persen pada 2025. Kebijakan ini memberikan gambaran bahwa ada ketidakseriusan dalam mengatasi perubahan energi yang berkelanjutan.

Menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, meskipun ada kemajuan dalam hal biaya teknologi rendah karbon, transisi energi masih terkendala oleh kurangnya komitmen politik dan tata kelola yang kurang mendukung. Pemerintah, menurutnya, terlalu fokus pada teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (CCS/CCUS) yang mahal dan berisiko. Sementara teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin sudah lebih terjangkau dan tersedia di pasar.

“Simak juga: Keajaiban Alam Pantai Mawun Lombok yang Memikat Hati”

Tantangan yang Dihadapi oleh Indonesia dalam Transisi Energi

Transisi energi Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama terkait ketergantungan sektor-sektor utama pada bahan bakar fosil. Pada 2023, 81% pasokan listrik masih berasal dari energi fosil, dan kapasitas PLTU captive (di luar wilayah PLN) berkembang menjadi 21 GW. Selain itu, 87% rumah tangga masih bergantung pada LPG yang disubsidi. Dimana total subsidi mencapai Rp 83 triliun pada kuartal keempat 2024. Dengan kondisi seperti ini, kontribusi energi terbarukan di sektor industri sangat kecil, hanya sekitar 6,52% dari total energi yang digunakan.

Peluang untuk Perubahan

IESR menekankan pentingnya pemerintah untuk mulai mengalihkan subsidi dari energi fosil menuju energi terbarukan. Strategi ini sangat penting agar Indonesia dapat mencapai transisi energi yang adil dan efisien. Selain itu, pemerintah juga harus segera merealisasikan rencana pensiun dini PLTU batu bara pada 2040, yang diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pensiun dini PLTU ini dapat dilakukan dengan lebih efisien daripada mengandalkan teknologi CCS/CCUS yang lebih mahal.

Analis IESR, Anindita Hapsari, menyarankan agar pemerintah merancang pendekatan yang lebih terencana dan melibatkan seluruh pihak. Ini termasuk pemerintah daerah, untuk mendukung transisi energi Indonesia. Dengan langkah-langkah strategis yang jelas, Indonesia dapat membangun fondasi untuk sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan dan selaras dengan tujuan Perjanjian Paris.

Recent Posts

CBAM Mulai 2026: Strategi Ekspor dan Industri Padat Energi

Sustainability Pioneers - Sejumlah pelaku usaha mulai menyiapkan strategi cbam untuk indonesia demi menjaga ekspor ke Uni Eropa saat mekanisme…

5 days ago

Output Energi Angin dan Cuaca Ekstrem: Mengapa Bisa Naik Turun Drastis

Sustainability Pioneers - Dampak cuaca ekstrem terhadap pembangkit energi angin membuat output listrik bisa naik turun drastis dalam waktu singkat.…

1 week ago

Mengukur ROI Investasi Real Estat Berbasis Keberlanjutan Secara Objektif

Sustainability Pioneers - Investor kini menaruh perhatian serius pada ROI investasi real estat yang menggabungkan keuntungan finansial dan prinsip keberlanjutan.…

2 weeks ago

Mengapa Energi Terbarukan Jadi Fokus Dokumenter di Dekade Ini

Sustainability Pioneers - Gelombang baru naratif dokumenter energi terbarukan menguat dalam dekade terakhir, didorong krisis iklim, tekanan publik, dan inovasi…

2 weeks ago

Generasi Muda yang Memimpin Inovasi Hijau di Berbagai Sektor

Sustainability Pioneers - Generasi muda inovasi hijau kian menonjol lewat aksi nyata, teknologi baru, dan pola pikir berkelanjutan yang menggeser…

2 weeks ago

Revolusi Energi di Desa Terpencil Berkat Panel Surya Mandiri

Sustainability Pioneers - Revolusi energi desa terpencil semakin nyata ketika panel surya mandiri menghadirkan listrik untuk warga yang selama puluhan…

3 weeks ago