sustainabilitypioneers – Afghanistan kembali menyita perhatian dunia internasional setelah muncul kebijakan baru yang melarang seluruh buku karya perempuan di semua universitas. Langkah ini dianggap sebagai bagian dari pengetatan ideologi yang kini dilakukan oleh pemerintahan Taliban. Kebijakan tersebut juga mencakup pelarangan mata kuliah terkait hak asasi manusia dan kekerasan seksual. Tindakan ini memicu kritik keras dari komunitas akademik dan organisasi hak asasi manusia. Dalam daftar yang dirilis, terdapat ratusan judul yang dilarang beredar di lingkungan kampus. Beberapa di antaranya merupakan buku ilmiah yang ditulis oleh perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan, hingga ilmu sosial. Keputusan ini memperlihatkan arah kebijakan pendidikan yang semakin konservatif. Afghanistan kini berada dalam sorotan karena pembatasan tersebut dinilai mempersempit ruang gerak intelektual perempuan secara drastis.
Keputusan penghapusan buku-buku karya perempuan menjadi bagian dari pembaruan kurikulum di universitas-universitas Afghanistan. Langkah ini disampaikan langsung oleh anggota komite peninjau buku dari pemerintah setempat. Ia menyatakan bahwa semua karya tulis yang ditulis oleh perempuan tidak diperbolehkan untuk diajarkan di lingkungan kampus. Afghanistan juga melarang pengajaran 18 mata kuliah yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah. Enam di antaranya berfokus pada isu perempuan. Mata kuliah seperti Gender dan Pembangunan serta Peran Perempuan dalam Komunikasi telah dilarang. Kebijakan ini mendapat kecaman karena menghapus ruang diskusi akademik yang penting. Banyak pihak menilai langkah tersebut menciptakan kekosongan serius dalam sistem pendidikan tinggi. Afghanistan dianggap sedang menuju fase pembungkaman intelektual yang mengkhawatirkan.
“Baca juga: Bahlil Bikin Geger! Stok BBM RI Cuma Cukup 18 Hari? Warganet Panik!”
Selain buku karya perempuan, kebijakan ini juga menargetkan karya penulis dan penerbit asal Iran. Dalam daftar berisi 679 judul, sebanyak 310 buku disebut berasal dari atau diterbitkan oleh pihak Iran. Taliban berdalih langkah ini bertujuan untuk mencegah penyebaran konten asing yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai lokal. Seorang anggota panel menyebutkan bahwa konten-konten tersebut dapat mengganggu stabilitas ideologi. Sebuah surat resmi dari kementerian pendidikan tinggi menyatakan bahwa aturan ini dirancang oleh para ulama dan pakar agama. Universitas di Afghanistan kini diharuskan menyusun sendiri materi ajar yang sesuai dengan ketentuan pemerintah. Beberapa dosen menyampaikan bahwa tantangan baru ini sangat berat. Kekhawatiran muncul mengenai standar akademik yang mungkin tidak dapat dipertahankan. Penyesuaian kurikulum ini memaksa institusi pendidikan untuk bekerja dalam tekanan ideologi yang ketat.
“Simak juga: NAVI Kejutkan Semua! Tembus 5 Besar, ONIC Bungkam EVOS Tanpa Ampun di MPL S16!”
Sejak Taliban kembali berkuasa, pendidikan bagi perempuan di Afghanistan terus dibatasi. Mereka dilarang mengikuti pendidikan di atas kelas enam. Salah satu jalur terakhir, yaitu kursus kebidanan, ditutup pada akhir tahun lalu. Dengan larangan buku karya perempuan dan pembatasan mata kuliah, akses perempuan ke pendidikan tinggi semakin tertutup. Penulis perempuan seperti Zakia Adeli menilai kebijakan ini sebagai bentuk penindasan sistemik. Ia menyebut bahwa ide dan pemikiran perempuan sengaja disingkirkan dari ruang akademik. Beberapa aktivis hak asasi manusia menyebut langkah ini sebagai bentuk sensor ekstrem. Dunia internasional diminta untuk lebih bersuara terkait hal ini. Banyak yang menilai bahwa pendidikan perempuan di Afghanistan kini berada dalam ancaman serius. Penindasan tidak hanya terjadi secara fisik tetapi juga melalui pembungkaman karya intelektual mereka.
Dengan dilarangnya ratusan judul buku, universitas-universitas Afghanistan dihadapkan pada tugas berat untuk menyusun ulang materi ajar. Beberapa profesor mengaku harus menulis buku sendiri untuk menggantikan yang telah dilarang. Mereka juga harus memastikan bahwa semua konten tidak bertentangan dengan aturan Taliban. Proses ini memakan waktu dan membutuhkan sumber daya yang besar. Situasi ini memperburuk kualitas pendidikan secara keseluruhan. Kekhawatiran muncul mengenai kemampuan institusi untuk menjaga standar global dalam sistem pendidikan. Beberapa dosen menyebut langkah ini sebagai bentuk isolasi intelektual. Mahasiswa juga kehilangan akses pada literatur yang berkualitas. Kondisi ini dinilai akan berdampak jangka panjang terhadap generasi mendatang. Universitas berupaya bertahan di tengah tekanan kebijakan yang membatasi kebebasan berpikir.
‘Artikel ini bersumber dari news.detik.com dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di sustainabilitypioneers
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa
sustainabilitypioneers – Palestina kembali menjadi sorotan dunia setelah 10 negara baru menyuarakan dukungan atas kedaulatan wilayah tersebut. Dukungan ini tercatat dalam…
sustainabilitypioneers – Bahlil menjadi pusat perhatian publik usai menyatakan bahwa stok bahan bakar minyak nasional hanya cukup untuk 18 hingga 21…
sustainabilitypioneers – IHSG mengakhiri perdagangan pekan ini dengan performa yang sangat positif. Pada Jumat 19 September indeks harga saham gabungan ditutup…
sustainabilitypioneers – Pertamina kembali menjadi sorotan setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menegaskan arah kebijakan pemerintah terkait pembelian…
sustainabilitypioneers – Erick Thohir kembali menjadi sorotan publik usai dilantik sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga menggantikan pejabat sebelumnya. Pelantikan dilakukan di…
sustainabilitypioneers – Netanyahu kembali menjadi pusat perhatian dunia setelah melontarkan pernyataan mengejutkan mengenai ponsel dan keterkaitannya dengan Israel. Dalam sebuah pertemuan…