sustainabilitypioneers – Gaza kini berada di titik nadir krisis kemanusiaan. Selain serangan tanpa henti yang menimbulkan korban jiwa, warga juga harus menghadapi keterbatasan sumber energi yang ekstrem. Di tengah blokade dan kekurangan pasokan, banyak keluarga terpaksa membakar sampah plastik untuk memasak. Situasi ini memperparah kondisi kesehatan, terutama bagi anak-anak dan lansia yang tinggal di penampungan darurat tanpa ventilasi memadai. Asap beracun dari plastik yang dibakar menyebar ke seluruh permukiman. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mencatat praktik ini sebagai langkah bertahan hidup yang penuh risiko. Bagi masyarakat Gaza, pilihan antara kelaparan atau terpapar racun menjadi dilema harian. Sementara dunia menyaksikan, penderitaan mereka terus meningkat dan bantuan tidak kunjung tiba dalam jumlah yang memadai. Harapan akan normalisasi semakin menipis.
Kelangkaan bahan bakar dan gas di Gaza semakin meruncing akibat pembatasan ketat dari otoritas Israel. Dalam situasi seperti ini, warga Gaza tidak punya pilihan selain mencari alternatif energi dari apa pun yang tersedia. Sampah plastik yang sebelumnya dibuang, kini dikumpulkan dan dibakar sebagai bahan bakar dapur. Kebijakan pembatasan membuat pasokan bahan bakar sangat terbatas. Akibatnya, aktivitas vital masyarakat terganggu, termasuk akses terhadap makanan dan layanan kesehatan. Ventilasi buruk di penampungan darurat semakin memperbesar risiko keracunan udara. Krisis ini bukan hanya soal energi tetapi juga soal kemanusiaan yang terabaikan. Tanpa bahan bakar, generator rumah sakit tidak bisa dihidupkan, dan dapur umum tak bisa beroperasi optimal. Ketergantungan terhadap bahan bakar alternatif memperlihatkan betapa daruratnya kondisi Gaza saat ini. Situasi yang terus memburuk ini menuntut respons global yang lebih nyata dan cepat.
“Baca juga: Heboh! Inilah Sosok Pemilik Baru FUTR yang Bikin Pasar Kaget”
Rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Gaza kini terancam lumpuh total. Kekurangan bahan bakar membuat banyak unit perawatan kritis tidak dapat berfungsi. Dana Kependudukan PBB mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen unit perawatan risiko tinggi, termasuk ruang persalinan, terancam ditutup. Rata-rata 130 kelahiran terjadi setiap hari di Gaza. Tanpa pasokan energi, nyawa ibu dan bayi dipertaruhkan. Laporan dari Palang Merah menunjukkan lonjakan pasien luka-luka akibat penyerangan saat mengambil bantuan. Kondisi darurat di rumah sakit lapangan menggambarkan beban berat yang harus ditanggung tenaga medis. Pelayanan menjadi terbatas, sementara pasien terus berdatangan setiap hari. Di tengah krisis ini, peralatan medis tidak bisa dijalankan karena tidak adanya listrik. Gaza benar-benar diambang bencana kemanusiaan besar jika tidak ada intervensi internasional dalam waktu dekat. Harapan untuk hidup menjadi barang langka di wilayah yang terus diguncang konflik ini.
Distribusi bantuan ke Gaza menghadapi banyak hambatan. Dari lima belas gerakan bantuan yang direncanakan dalam sehari, hanya empat yang berhasil dijalankan. Sebagian besar lainnya ditolak atau terhambat oleh kendala teknis dan keamanan. Padahal kebutuhan di lapangan terus melonjak. OCHA mendesak agar perlintasan darat dibuka lebih luas dan pasokan dikirimkan setiap hari. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa aliran bantuan tetap stabil. Namun realisasi di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Masyarakat menjadi tidak yakin kapan bantuan akan tiba. Dapur umum yang dulu mampu menyediakan satu juta porsi makanan, kini hanya sanggup menyajikan dua ratus ribu porsi per hari. Penurunan drastis ini menunjukkan bagaimana akses terhadap kebutuhan dasar mulai hilang. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Rakyat Gaza butuh akses penuh terhadap logistik, pangan, dan obat-obatan untuk bertahan hidup.
Konflik berkepanjangan di Gaza turut melumpuhkan dunia pendidikan. Puluhan ribu siswa tidak bisa mengikuti ujian sekolah menengah tahun ini. Kondisi keamanan, perintah evakuasi, dan gangguan jaringan internet menjadi penyebab utama. Tahun lalu, puluhan ribu siswa juga mengalami hal serupa. Sekolah-sekolah rusak atau dijadikan tempat pengungsian. Guru dan murid terpisah akibat perpindahan paksa dari satu wilayah ke wilayah lain. Situasi ini menciptakan generasi muda yang kehilangan masa depan. Ketika akses pendidikan ditutup, maka kesempatan untuk keluar dari lingkaran konflik pun tertutup. Pendidikan adalah hak dasar yang tidak boleh dikorbankan dalam perang. Namun kenyataannya, anak-anak di Gaza terus menjadi korban tak langsung dari kekacauan yang tidak kunjung usai. Di tengah suara ledakan dan kelaparan, harapan untuk belajar dan tumbuh menjadi semakin tipis. Dunia perlu bertindak sebelum seluruh generasi muda di wilayah ini benar-benar hilang.
Artikel ini bersumber dari www.sustainlifetoday.com dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di sustainabilitypioneers
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa
sustainabilitypioneers – FUTR atau PT Futura Energi Global Tbk tengah menjadi sorotan usai mengumumkan pengendali baru perseroan. Informasi ini disampaikan dalam…
sustainabilitypioneers – Pertamina kembali menjadi sorotan publik setelah Vivo dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian base fuel yang sebelumnya telah disepakati. Rencana…
sustainabilitypioneers – Gempabumi yang mengguncang Kabupaten Sumenep pada Selasa malam 30 September lalu kembali membuka catatan panjang tentang potensi bencana di…
sustainabilitypioneers – Prakiraan cuaca hari ini Selasa 30 September 2025 kembali menjadi perhatian publik seiring peralihan musim ke penghujan. Badan Meteorologi…
sustainabilitypioneers – Pertamina kembali menjadi pusat perhatian publik seiring kabar rencana Shell untuk melepas jaringan SPBU di Indonesia pada 2026. Perusahaan…
sustainabilitypioneers – Tony Blair kembali menjadi sorotan dunia setelah Gedung Putih dikabarkan mendukung dirinya untuk memimpin pemerintahan sementara di Gaza.…