sustainabilitypioneers – Transisi Energi yang selama ini menjadi wacana utama dalam agenda global mengalami hambatan signifikan. Sejumlah perusahaan minyak raksasa dunia seperti BP Chevron ExxonMobil Shell dan TotalEnergies kini justru memperkuat kembali aktivitas eksplorasi minyak dan gas. Langkah ini menjadi sinyal jelas bahwa kecepatan transisi ke energi bersih belum sesuai ekspektasi. Dorongan untuk kembali ke sektor migas tradisional didorong oleh realita pasar yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Kebutuhan energi global masih didominasi oleh minyak dan gas sehingga industri merasa perlu menjawab permintaan tersebut secara langsung. Meskipun investasi pada energi terbarukan meningkat namun tingkat profitabilitas dari eksplorasi fosil terbukti lebih stabil. Inilah yang menjadi alasan utama mengapa banyak raksasa migas global kompak menunda perluasan proyek energi hijau dan memilih memperdalam eksplorasi cadangan fosil di berbagai wilayah.
Eksplorasi minyak dan gas kembali menjadi prioritas utama bagi sejumlah perusahaan besar di tengah stagnasi Transisi Energi global. BP mengumumkan rencana pengeboran di 40 titik eksplorasi baru termasuk penemuan penting di lepas pantai Brasil. Chevron menambah luas wilayah eksplorasi hingga 11 juta hektare yang sebagian besar berada di Amerika Selatan dan Afrika. ExxonMobil memperkuat operasinya di Karibia serta Libya sebagai respons terhadap kebutuhan energi yang meningkat. Sementara itu Shell dan TotalEnergies meluaskan jaringan operasi mereka ke wilayah Asia dan Teluk Meksiko. Strategi agresif ini menunjukkan keyakinan bahwa energi fosil masih memiliki tempat penting dalam memenuhi kebutuhan energi dunia. Dalam waktu dekat ekspansi eksplorasi akan terus berlangsung demi menjaga kestabilan pasokan. Oleh karena itu perusahaan energi tidak bisa sepenuhnya bergantung pada solusi energi bersih yang belum siap secara infrastruktur dan teknologi.
“Baca juga: Polyplastics Ungkap Teknologi Daur Ulang Masa Depan, Dunia Industri Siap Tersentak!”
Tren peningkatan produksi minyak terlihat jelas dari kinerja perusahaan migas Amerika seperti ExxonMobil dan Chevron. ExxonMobil mencatatkan produksi harian sekitar 4,6 juta barel minyak ekuivalen berkat eksplorasi di Guyana serta ladang minyak Basin Permian. Chevron tidak mau ketinggalan dengan produksi sebesar 3,4 juta boed yang menjadikannya sebagai salah satu produsen utama dunia. Perusahaan energi Eropa justru mengalami tekanan karena mereka terlalu cepat mengalihkan investasi ke sektor hijau. Penurunan keuntungan terlihat pada semester pertama tahun ini di mana 12 perusahaan migas besar mencatat penurunan laba hingga 25 miliar dolar AS. Hal ini membuktikan bahwa stabilitas finansial masih lebih kuat di sektor migas konvensional dibandingkan energi terbarukan. Industri energi bersih pun terhambat oleh mahalnya biaya produksi dan lambatnya pembangunan infrastruktur. Para pelaku usaha akhirnya kembali mempercayai sumber daya konvensional sebagai pilihan jangka menengah.
“Simak juga: ICECE 2025 UNP Bikin Geger! Deep Learning Resmi Masuk Kurikulum PAUD”
Meskipun dunia tengah menggaungkan energi terbarukan namun minyak dan gas tetap diprediksi akan mendominasi pasar energi global hingga 2050. Laporan dari sejumlah lembaga konsultan energi menyebutkan bahwa kebutuhan terhadap minyak dan gas akan meningkat lebih dari 100 miliar barel hingga pertengahan abad ini. Proyeksi ini didasarkan pada pertumbuhan populasi dunia serta industrialisasi di negara berkembang. Selain itu kelambanan investasi infrastruktur hijau menyebabkan energi bersih sulit memenuhi ekspektasi permintaan. Di sisi lain dukungan kebijakan di beberapa negara besar terhadap bahan bakar fosil juga membuat masa depan transisi energi menjadi kurang pasti. Walaupun tekanan dari komunitas internasional meningkat namun perusahaan tetap memprioritaskan kepentingan jangka pendek yang lebih menguntungkan. Jika tren ini terus berlangsung maka pengurangan emisi global akan sulit dicapai sesuai target yang ditetapkan dalam perjanjian Paris.
Perlambatan transisi menuju energi bersih tidak hanya berdampak pada industri tetapi juga pada lingkungan dan perekonomian global. Emisi karbon yang dihasilkan dari peningkatan produksi minyak dan gas akan memperburuk perubahan iklim. Selain itu ketergantungan berkelanjutan terhadap bahan bakar fosil menjadikan ekonomi dunia semakin rapuh terhadap fluktuasi harga minyak. Negara-negara berkembang juga akan menghadapi tantangan karena harus memilih antara pembangunan energi terjangkau atau keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks geopolitik peningkatan eksplorasi migas dapat memperkuat dominasi negara produsen terhadap negara konsumen. Di saat yang sama investasi dalam riset energi bersih menjadi tertunda karena dana beralih ke eksplorasi konvensional. Oleh karena itu meski energi fosil memberi solusi cepat namun ketergantungan jangka panjang justru menciptakan resiko baru bagi stabilitas global. Transisi energi kini berada di persimpangan jalan dan keputusan yang diambil akan menentukan masa depan planet ini.
sustainabilitypioneers – Polyplastics menjadi sorotan menjelang pameran industri K 2025 yang akan digelar pada Oktober di Düsseldorf. Sebagai pelaku utama di…
sustainabilitypioneers – Trina Storage kembali membuat gebrakan dalam industri energi bersih global. Perusahaan ini telah mengirimkan batch pertama sistem penyimpanan energi…
sustainabilitypioneers – PLN Gunakan Kolaborasi Sains dan Teknologi untuk mendorong perkembangan energi terbarukan di Indonesia melalui kemitraan strategis lintas sektor. Langkah…
sustainabilitypioneers – RUU EBET atau Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan dinilai sebagai kunci penting untuk percepatan transisi energi di…
sustainabilitypioneers – Net Zero Emission kini menjadi fokus utama bagi Pertamina dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Pada tanggal 11 Agustus…
sustainabilitypioneers – Pertamina Balikpapan pada tanggal 9 Agustus 2025 resmi meluncurkan program inovasi hijau yang dirancang khusus untuk menumbuhkan rasa cinta…