sustainabilitypioneers – Batubara mulai ditinggalkan oleh sebagian besar negara di dunia seiring komitmen global terhadap transisi energi bersih. Penurunan kapasitas pembangkit batubara pra-konstruksi secara global mencapai angka 75 persen sejak tahun 2015. Ini menjadi indikator kuat bahwa arah pembangunan energi dunia mulai bergerak ke sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Namun situasi ini tidak berlaku merata di seluruh wilayah. Di Asia, khususnya India dan China, ketergantungan terhadap batubara masih sangat tinggi. Pembangunan pembangkit batubara baru terus dilakukan untuk memenuhi permintaan listrik dalam negeri yang terus meningkat. Kebutuhan ini didorong oleh pertumbuhan populasi serta ekspansi industri yang masif. Dalam konteks ini, transisi energi tidak hanya soal teknologi dan pendanaan melainkan juga persoalan struktural dan kebutuhan pembangunan nasional yang mendesak.
Sejak Kesepakatan Paris disepakati, tekanan terhadap penggunaan batubara mulai meningkat secara global. Banyak negara menerapkan kebijakan penghentian pembangkit batubara baru dan mempercepat penutupan pembangkit lama. Lembaga keuangan besar juga mulai menahan investasi pada proyek batubara. Hal ini berdampak langsung pada turunnya kapasitas pra-konstruksi yang signifikan. Pemerintah di Eropa, Amerika Utara dan beberapa negara Asia Tenggara telah menunjukkan langkah konkret menuju transisi energi. Batubara digantikan oleh sumber daya terbarukan seperti tenaga surya, angin dan hidro. Selain alasan lingkungan, efisiensi teknologi dan ketersediaan pendanaan turut mempercepat perubahan tersebut. Namun demikian, penurunan global ini belum cukup untuk menekan suhu bumi sesuai target iklim internasional. Upaya harus dilipatgandakan, khususnya dengan mendukung negara yang masih mengandalkan batubara.
Berbeda dengan tren global, India dan China justru memperkuat kapasitas pembangkit batubara mereka. Di China, pembangkit batubara tetap dibangun untuk mengatasi kekurangan energi musiman dan menjaga stabilitas jaringan. Pemerintah menganggap batubara sebagai sumber energi yang paling andal dan cepat tersedia untuk memenuhi lonjakan permintaan. Di India, ketergantungan terhadap batubara juga tinggi karena dianggap sebagai solusi paling ekonomis bagi elektrifikasi pedesaan dan pembangunan industri. Meskipun negara-negara ini juga mengembangkan energi terbarukan, proses transisinya belum cukup untuk menggantikan kapasitas batubara yang ada. Selain itu, ketergantungan pada industri batubara juga melibatkan jutaan pekerja yang sulit dialihkan dalam waktu singkat. Ini menunjukkan bahwa pergeseran menuju energi bersih membutuhkan strategi jangka panjang dan sensitivitas terhadap realitas sosial dan ekonomi setempat.
Agar transisi energi dapat berlangsung adil dan merata, negara berkembang memerlukan bantuan teknis dan finansial dari komunitas internasional. Dukungan bisa diberikan dalam bentuk hibah, pinjaman lunak atau investasi pada proyek energi terbarukan yang berkelanjutan. Selain itu, transfer teknologi juga menjadi hal penting agar negara-negara tersebut bisa membangun infrastruktur energi bersih yang efisien. Tanpa dukungan ini, negara berkembang akan terus mengandalkan batubara karena terbatasnya pilihan dan akses terhadap solusi lain. Komitmen dari negara maju harus diwujudkan dalam bentuk konkret dan tidak sekadar janji diplomatik. Banyak pihak menilai bahwa tanggung jawab sejarah atas emisi gas rumah kaca juga harus dipertimbangkan dalam skema transisi global. Dalam konteks ini, kerja sama antarnegara menjadi elemen vital untuk memastikan bahwa semua pihak dapat maju bersama dalam agenda energi berkelanjutan.
Transisi dari batubara ke energi bersih bukan hanya persoalan teknis. Di banyak negara berkembang, tantangan struktural seperti kemiskinan energi, akses terbatas terhadap teknologi, dan sistem birokrasi yang lambat menjadi penghalang utama. Program transisi harus dirancang dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat lokal. Selain itu, perencanaan energi nasional juga perlu diselaraskan dengan kebijakan pembangunan lain seperti ketahanan pangan dan penciptaan lapangan kerja. Jika tidak, transisi energi bisa memicu ketimpangan baru yang justru melemahkan dukungan publik. Oleh karena itu, strategi nasional harus menyeluruh dan inklusif agar keberhasilan jangka panjang dapat dicapai. Batubara mungkin mulai ditinggalkan secara global, namun tanpa solusi yang adil dan berkelanjutan, ketergantungan terhadapnya akan terus terjadi di kawasan Asia dan negara berkembang lainnya.
sustainabilitypioneers – Polyplastics menjadi sorotan menjelang pameran industri K 2025 yang akan digelar pada Oktober di Düsseldorf. Sebagai pelaku utama di…
sustainabilitypioneers – Trina Storage kembali membuat gebrakan dalam industri energi bersih global. Perusahaan ini telah mengirimkan batch pertama sistem penyimpanan energi…
sustainabilitypioneers – PLN Gunakan Kolaborasi Sains dan Teknologi untuk mendorong perkembangan energi terbarukan di Indonesia melalui kemitraan strategis lintas sektor. Langkah…
sustainabilitypioneers – RUU EBET atau Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan dinilai sebagai kunci penting untuk percepatan transisi energi di…
sustainabilitypioneers – Net Zero Emission kini menjadi fokus utama bagi Pertamina dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Pada tanggal 11 Agustus…
sustainabilitypioneers – Pertamina Balikpapan pada tanggal 9 Agustus 2025 resmi meluncurkan program inovasi hijau yang dirancang khusus untuk menumbuhkan rasa cinta…