sustainabilitypioneers – Emisi Industri Makin Gila terlihat dari data konsumsi energi di sektor manufaktur yang terus meningkat drastis sepanjang 2023. Kenaikan sebesar 9 persen dalam penggunaan energi telah mendorong emisi karbon naik hingga 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta ini menandai bahwa upaya transisi menuju energi bersih di sektor industri masih jauh dari harapan. Penyebab utama kondisi ini berasal dari tingginya ketergantungan industri terhadap sumber energi berbasis fosil, terutama batu bara. Ketiadaan insentif kuat untuk beralih ke energi bersih juga menjadi batu sandungan besar. Pemerintah dan pelaku industri dinilai belum sejalan dalam mendorong percepatan transisi energi. Selain itu, keengganan investasi pada teknologi ramah lingkungan turut memperparah situasi. Padahal, tekanan dari dunia internasional agar Indonesia menurunkan emisi cukup besar. Namun realitanya, konsumsi energi terus melonjak dan belum dibarengi dengan penurunan emisi secara signifikan.
Emisi Industri Makin Gila juga diperkuat oleh data yang menunjukkan dominasi batu bara sebagai sumber energi utama sektor industri di Indonesia. Menurut laporan IESR, sebanyak 56,9 persen kebutuhan energi masih dipasok dari batu bara. Angka ini menunjukkan bahwa bahan bakar fosil tetap menjadi andalan utama, meskipun telah banyak dibahas mengenai ancaman lingkungan dan potensi bahaya jangka panjangnya. Kebijakan harga domestik seperti DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batu bara tetap murah juga menjadi alasan utama pelaku industri belum beralih ke sumber energi alternatif. Investasi pada pembangkit energi rendah emisi dianggap belum menguntungkan secara bisnis. Dengan kondisi demikian, strategi transisi energi hanya berjalan di atas kertas tanpa implementasi nyata di lapangan. Peningkatan konsumsi energi masih terus didorong oleh permintaan industri yang makin tinggi tanpa kontrol ketat terhadap sumber energinya.
“Baca juga: LNG Bisa Jadi Bumerang! Jepang Diultimatum Percepat Energi Bersih”
Hambatan utama dalam transisi energi di sektor industri terletak pada lambatnya adopsi teknologi rendah emisi. Banyak pabrik di Indonesia yang masih menggunakan metode lama seperti Basic Oxygen Furnace dalam proses produksi, terutama pada industri baja. Hanya sekitar 30 persen yang telah beralih ke teknologi Electric Arc Furnace yang lebih ramah lingkungan. Pergantian metode produksi yang memakan biaya besar menjadi alasan utama perubahan ini berjalan lambat. Padahal, teknologi baru ini mampu memangkas emisi karbon secara signifikan. Dukungan kebijakan pemerintah yang belum optimal juga membuat pelaku usaha enggan mengambil risiko. Insentif yang dijanjikan belum sepenuhnya direalisasikan. Selain itu, kurangnya transfer pengetahuan dan keterampilan teknis tentang teknologi bersih menyebabkan adopsi teknologi berjalan tersendat. Jika tidak ada dorongan yang kuat dari regulator, maka perubahan fundamental ini akan terus tertunda meskipun potensi penurunan emisi sangat besar.
Masalah lain yang menambah kerumitan dalam upaya transisi energi di sektor industri adalah kebijakan harga yang belum sinkron. Kebijakan DMO membuat batu bara dijual jauh di bawah harga pasar internasional. Akibatnya, sumber energi kotor tetap menjadi pilihan ekonomis bagi pelaku industri. Kebijakan ini memang ditujukan untuk menjaga stabilitas harga energi domestik namun pada saat yang sama malah memperlambat langkah menuju energi bersih. Keputusan ini telah menyebabkan energi fosil tetap digunakan dalam volume besar. Selain itu, subsidi energi yang diberikan masih cenderung mendukung konsumsi energi kotor daripada mendorong penggunaan energi terbarukan. Peluang untuk mendorong efisiensi dan konservasi energi menjadi kecil. Ketika harga batu bara tetap murah maka tidak ada alasan ekonomi yang cukup kuat bagi industri untuk mengubah kebiasaannya. Hingga kini, belum ada roadmap yang jelas untuk mengatur ulang skema harga yang lebih berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Meskipun tekanan dari komunitas internasional terus meningkat untuk menurunkan emisi, sektor industri di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan struktural. Komitmen terhadap Net Zero Emission pada 2060 tampaknya sulit tercapai jika langkah-langkah konkrit tidak segera diterapkan. Banyak perusahaan global yang kini hanya mau bekerja sama dengan pemasok yang menerapkan prinsip ESG (Environment, Social, Governance). Namun di dalam negeri, penerapan standar lingkungan masih belum menjadi kewajiban yang tegas. Program-program insentif hijau seringkali tidak dijangkau oleh pelaku usaha menengah ke bawah. Ketersediaan teknologi bersih juga masih terbatas di beberapa wilayah industri. Kebutuhan investasi infrastruktur energi baru terbarukan cukup besar namun belum didukung dengan pembiayaan yang memadai. Dalam situasi seperti ini, kebijakan transisi energi bisa mandek jika hanya dijalankan sebagian pihak tanpa kolaborasi lintas sektor. Masa depan keberlanjutan industri pun bergantung pada langkah berani yang diambil hari ini.
sustainabilitypioneers – Polyplastics menjadi sorotan menjelang pameran industri K 2025 yang akan digelar pada Oktober di Düsseldorf. Sebagai pelaku utama di…
sustainabilitypioneers – Trina Storage kembali membuat gebrakan dalam industri energi bersih global. Perusahaan ini telah mengirimkan batch pertama sistem penyimpanan energi…
sustainabilitypioneers – PLN Gunakan Kolaborasi Sains dan Teknologi untuk mendorong perkembangan energi terbarukan di Indonesia melalui kemitraan strategis lintas sektor. Langkah…
sustainabilitypioneers – RUU EBET atau Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan dinilai sebagai kunci penting untuk percepatan transisi energi di…
sustainabilitypioneers – Net Zero Emission kini menjadi fokus utama bagi Pertamina dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Pada tanggal 11 Agustus…
sustainabilitypioneers – Pertamina Balikpapan pada tanggal 9 Agustus 2025 resmi meluncurkan program inovasi hijau yang dirancang khusus untuk menumbuhkan rasa cinta…