sustainabilitypioneers – Transisi energi tertunda, meskipun negara-negara G7 berjanji untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi terbarukan. Janji ini tercatat pada tahun 2016, dengan target untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil pada 2025. Namun, kenyataannya, negara-negara yang tergabung dalam G7 masih memberikan subsidi besar-besaran untuk sektor minyak, gas, dan batu bara. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Greenpeace yang berjudul Empty promises: where the G7 stand on subsidy reduction, yang mengungkapkan ketidaksesuaian antara komitmen yang diucapkan dengan tindakan yang diambil.
Pada 2023, negara-negara G7 justru meningkatkan subsidi energi fosil mereka sebesar 15 persen dibandingkan tahun 2016. Hal ini berlawanan dengan komitmen yang mereka buat untuk mengurangi dampak negatif bahan bakar fosil terhadap iklim global. Meskipun ada dorongan global untuk transisi menuju energi bersih, kebijakan subsidi yang masih berlangsung ini malah menghambat upaya tersebut. Negara-negara G7, yang merupakan kekuatan ekonomi dunia, seharusnya memberikan contoh bagi negara lain dalam transisi energi yang berkelanjutan, namun kenyataannya mereka masih terperangkap dalam kebijakan yang mendukung bahan bakar fosil.
Pada 2016, negara-negara G7 sepakat untuk secara bertahap menghapus subsidi bahan bakar fosil. Namun, laporan Greenpeace menunjukkan bahwa subsidi energi fosil justru meningkat 15 persen dalam tujuh tahun terakhir. Hal ini bertolak belakang dengan komitmen mereka dalam mendukung transisi ke energi hijau.
Senior Portofolio Manager Climate and Energy Greenpeace International, Virag Kaufer, menyoroti bahwa janji penghapusan subsidi ini diberikan hampir satu dekade lalu, tetapi hingga tahun 2025 pun masih jauh dari realisasi. Ia menambahkan bahwa negara-negara G7 tidak hanya gagal mencapai target penghapusan subsidi, tetapi juga terus mengalokasikan dana besar untuk bahan bakar yang merusak iklim.
Laporan Greenpeace, yang disusun oleh Forum untuk Ekonomi Pasar Ekologis dan Sosial (FoS) berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF), mengungkapkan bahwa Jerman mengalami peningkatan subsidi energi fosil tertinggi di antara negara-negara G7. Dalam tujuh tahun terakhir, subsidi Jerman naik hingga 49 persen.
Sophia van Vugt dari Greenpeace Jerman menyatakan bahwa kebijakan ini menciptakan “insentif palsu” yang justru membahayakan iklim. Ia menambahkan bahwa Jerman seharusnya lebih fokus pada solusi berbasis pajak karbon yang adil secara sosial daripada terus membiayai industri bahan bakar fosil.
Meskipun Jerman mengalami peningkatan subsidi yang signifikan, Amerika Serikat tetap menjadi negara dengan alokasi subsidi bahan bakar fosil terbesar di antara anggota G7. Pada tahun 2023, total subsidi yang diberikan AS untuk energi fosil mencapai 790 miliar dolar AS.
Subsidi bahan bakar fosil menjadi salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan energi terbarukan. Greenpeace menyoroti bahwa subsidi ini membuat harga minyak, gas, dan batu bara lebih murah dibandingkan energi alternatif. Hal ini akan mengurangi insentif bagi industri dan masyarakat untuk beralih ke sumber energi hijau.
Jika harga energi fosil tetap rendah akibat subsidi, maka energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin menjadi kurang kompetitif. Akibatnya, investasi dalam sektor energi hijau menjadi lebih mahal dan sulit berkembang. Para ahli energi sepakat bahwa menghapus subsidi bahan bakar fosil adalah langkah paling efisien dan hemat biaya untuk mencapai target iklim sesuai dengan Perjanjian Paris.
“Simak juga: Mulai 1 Februari 2025, Elpiji 3 Kg Tak Bisa Dibeli di Pengecer”
Greenpeace juga menandai bahwa subsidi bahan bakar fosil cenderung lebih menguntungkan para hartawan yang memiliki jejak karbon tinggi. Mereka yang memiliki kendaraan berbahan bakar fosil dalam jumlah besar atau industri berbasis energi fosil mendapatkan keuntungan lebih banyak. Terlebih dari kebijakan subsidi ini dibandingkan masyarakat umum.
Virag Kaufer mendesak negara-negara G7 untuk segera mengalihkan dana subsidi energi fosil ke arah transisi energi yang lebih berkelanjutan. Ia menekankan bahwa uang yang berasal dari pajak rakyat seharusnya digunakan untuk mendukung inovasi dan kebijakan yang mempercepat penggunaan energi terbarukan. Tidak seharusnya uang tersebut justru dipakai untuk mempertahankan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Dengan semakin meningkatnya ancaman perubahan iklim, negara-negara G7 diharapkan mengambil langkah nyata dalam mengurangi subsidi bahan bakar fosil. Jika janji penghapusan subsidi ini terus diabaikan, maka target global dalam menekan emisi karbon akan semakin sulit tercapai. Greenpeace dan berbagai organisasi lingkungan mendesak negara-negara G7 untuk segera bertindak dan tidak lagi menunda transisi energi yang telah dijanjikan.
sustainabilitypioneers – Desalinasi Energi Surya merupakan solusi inovatif dalam mengatasi krisis air bersih, terutama di daerah yang kekurangan sumber air tawar.…
sustainabilitypioneers – Indonesia dan Korea Selatan terus memperkuat kerja sama di sektor energi bersih dan industri kendaraan listrik. Langkah ini bertujuan…
sustainabilitypioneers – Jerman Memimpin Transisi Energi melalui kebijakan yang dikenal sebagai Energiewende. Kebijakan ini berfokus pada peralihan dari energi fosil ke…
sustainabilitypioneers – Mengurangi dampak perubahan iklim melalui transisi energi terbarukan semakin menjadi fokus utama dunia. Negara-negara di seluruh dunia kini berkomitmen…
sustainabilitypioneers – DPR Sebut Gas dan Batu Bara Masih Dibutuhkan RI meskipun Indonesia tengah fokus pada transisi menuju energi hijau. Ketua…
sustainabilitypioneers – Menghemat pengeluaran dengan hidup hijau adalah pilihan yang tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga untuk keuangan pribadi. Banyak…