sustainabilitypioneers – Riza Chalid kini menjadi pusat perhatian publik setelah Kejaksaan Agung memastikan statusnya sebagai stateless. Keputusan ini muncul setelah paspor milik Riza dicabut oleh pemerintah, membuatnya tak lagi memiliki kewarganegaraan yang sah. Status ini tidak hanya menyulitkan pergerakannya antarnegara tetapi juga membuka babak baru dalam proses pengejaran hukum. Riza merupakan salah satu buron kasus tata kelola minyak mentah yang mangkir dari panggilan penyidik sebanyak tiga kali. Pemerintah berharap status tanpa negara ini membuatnya lebih mudah dilacak dan dibawa kembali ke Indonesia. Penetapan stateless terhadap buronan kelas kakap seperti Riza menandai upaya serius negara dalam memberantas korupsi skala besar. Masyarakat menyoroti langkah ini sebagai bentuk keadilan yang sedang ditegakkan agar tidak ada pelaku kejahatan yang merasa aman di luar negeri.
Jurist Tan mengalami hal serupa dengan Riza Chalid, yakni kehilangan status kewarganegaraannya setelah paspornya dicabut. Pihak Imigrasi mengonfirmasi bahwa pencabutan ini dilakukan berdasarkan permintaan Kejaksaan Agung sebagai upaya pembatasan gerak terhadap kedua buronan tersebut. Riza Chalid dan Jurist Tan kini dianggap tidak memiliki negara mana pun yang secara hukum mengakui mereka sebagai warganya. Keduanya menjadi sorotan karena terlibat dalam dua kasus besar yang menyedot perhatian publik. Jurist Tan merupakan tersangka dalam kasus pengadaan laptop chromebook untuk pendidikan, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar. Sama seperti Riza, Jurist Tan juga mangkir dari panggilan penyidik Kejagung. Langkah hukum yang dilakukan kepada mereka membuka diskusi baru soal peran red notice dan kerjasama internasional dalam memberantas kejahatan lintas negara.
“Baca juga: Krisis Energi Gaza Memuncak, Warga Bakar Sampah Plastik Demi Bertahan Hidup!”
Pencabutan kewarganegaraan seperti yang dialami oleh Riza Chalid dan Jurist Tan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal 23 menjelaskan sembilan kondisi yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Beberapa di antaranya mencakup masuk dinas militer negara asing, tidak menyatakan keinginan mempertahankan kewarganegaraan setelah tinggal di luar negeri lebih dari lima tahun, serta memiliki paspor negara lain. Pemerintah Indonesia menggunakan regulasi ini sebagai landasan pencabutan paspor terhadap dua buronan tersebut. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi serius bagi mobilitas dan status hukum mereka di negara tempat bersembunyi. Tanpa kewarganegaraan, seseorang akan sulit mendapatkan perlindungan hukum internasional dan cenderung mudah dideportasi. Pemerintah menggunakan celah ini untuk meningkatkan tekanan hukum terhadap buron korupsi besar.
“Simak juga: iPhone 17 Pro Max Mungkin iPhone Terbesar TERAKHIR! Apple Siap Ganti Arah?’
Kejaksaan Agung mengambil langkah strategis dengan mengusulkan pencabutan paspor serta penerbitan red notice kepada Interpol terhadap Riza Chalid dan Jurist Tan. Red notice merupakan permintaan resmi kepada negara-negara anggota Interpol untuk membantu penangkapan individu yang menjadi buronan. Dengan status stateless, diharapkan kedua tersangka tidak bisa berpindah negara dengan mudah. Status tersebut juga mempersulit mereka untuk mengajukan suaka atau mendapat perlindungan diplomatik dari negara lain. Pihak berwenang menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari komitmen pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Kejagung telah melakukan pencekalan terhadap Riza Chalid sejak 10 Juli dan mencabut paspornya di hari yang sama. Langkah tersebut diharapkan mengakhiri masa pelarian para buronan dan membawa mereka ke hadapan hukum.
Publik memberikan perhatian besar terhadap langkah pemerintah dalam menangani kasus Riza Chalid dan Jurist Tan. Langkah mencabut paspor dan mengupayakan red notice dianggap sebagai strategi hukum yang berani dan efektif. Masyarakat berharap langkah ini bisa menjadi preseden positif dalam kasus serupa di masa depan. Banyak pihak yang selama ini menganggap buronan bisa hidup nyaman di luar negeri kini melihat bahwa pemerintah serius menjangkau mereka. Kasus ini juga menyoroti pentingnya kerjasama lintas negara dalam upaya penegakan hukum. Kejagung terus menegaskan bahwa tidak ada tempat aman bagi para koruptor, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pengawasan publik terhadap jalannya proses hukum menjadi pengingat bahwa keadilan harus ditegakkan secara menyeluruh tanpa pandang latar belakang sosial maupun ekonomi pelaku.
Artikel ini bersumber dari nasional.kompas.com dan untuk lebih lengkapnya kalian bisa baca di sustainabilitypioneers
Penulis : Sarah Azhari
Editor : Anisa
sustainabilitypioneers – Harga BBM Pertamina resmi mengalami penyesuaian di seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Indonesia terhitung mulai 6 Oktober…
sustainabilitypioneers – Harga Emas Antam kembali mencetak sejarah baru di perdagangan hari ini Senin 6 Oktober 2025. Angka yang tercatat menjadi…
sustainabilitypioneers – Gaza kini berada di titik nadir krisis kemanusiaan. Selain serangan tanpa henti yang menimbulkan korban jiwa, warga juga harus…
sustainabilitypioneers – FUTR atau PT Futura Energi Global Tbk tengah menjadi sorotan usai mengumumkan pengendali baru perseroan. Informasi ini disampaikan dalam…
sustainabilitypioneers – Pertamina kembali menjadi sorotan publik setelah Vivo dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian base fuel yang sebelumnya telah disepakati. Rencana…
sustainabilitypioneers – Gempabumi yang mengguncang Kabupaten Sumenep pada Selasa malam 30 September lalu kembali membuka catatan panjang tentang potensi bencana di…